Hukum Dalam Islam Wajib Sunnah

Hukum Dalam Islam Wajib Sunnah

Berikut hukum-hukum Islam:

Pengertian wajib secara bahasa adalah saqith (jatuh, gugur) dan lazim (tetap). Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana orang yang meninggalkannya berdosa.

Hukum wajib dibagi menjadi 4 yakni kewajiban waktu pelaksanaannya, kewajiban bagi orang melaksanakannya, kewajiban bagi ukuran/kadar pelaksanaannya, dan kandungan kewajiban perintahnya.

Kewajiban dari waktu pelaksanaannya:

a. Wajib muthlaq yakni wajib yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya seperti meng-qadha puasa Ramadhan yang tertinggal atau membayar kafarah sumpah.

b. Wajib muaqqad yakni wajib yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang ditentukan. Wajib muaqqad terbagi lagi dalam:

-wajib muwassa: wajib yang waktu disediakan untuk melakukannya melebihi waktu pelaksanaannya.- wajib mudhayyaq: kewajiban yang sama waktu pelaksanaannya dengan waktu yang disediakan seperti puasa Ramadhan.- Wajib dzu Syabhaini: gabungan antara wajib muwassa dengan wajib mudhayyaq, misalnya ibadah haji.

Kewajiban bagi orang yang melaksanakannya:

-Wajib aini: kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin dilakukan atau diwakilkan orang lain misalnya puasa dan sholat.-Wajib kafa'i/kifayah: kewajiban bersifat kelompok apabila tidak seorang pun melakukannya maka berdosa semuanya dan jika beberapa melakukannya maka gugur kewajibannya seperti sholat jenazah.

Kewajiban berdasarkan ukuran atau kadar pelaksanaannya:

-Wajib muhaddad: wajib yang harus sesuai dengan kadar yang sesuai ketentuan seperti zakat.-Wajib ghairu muhaddad: kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya seperti menafkahi kerabat.

Kewajiban berdasarkan kewajiban perintahnya:

-Wajib Mu'ayyan: kewajiban yang telah ditentukan dan tidka ada pilihan lain seperti membayar zakat dan sholat lima waktu.

-Wajib mukhayyar: kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif.

Oase.id – Sebagai umat Islam, seluruh tindakan dan perilaku memiliki ketentuan yang berlaku sesuai hukumnya. Hukum dalam Islam bukan hanya halal dan haram saja, melainkan ada wajib (Fardhu), Sunnah, Makruh, Mubah, dan Haram.

Hukum ini diberlakukan oleh para ahli fiqih untuk mempermudah dan menspesifikan kebutuhan umat Islam dalam beribadah. Berikut penjelasan mengenai wajib, Sunnah, haram, makruh, mubah:

Wajib merupakan suatu perkara yang harus dikerjakan dan tidak boleh ditinggalkan, dan jika umat muslim meninggalkannya maka berdosa. Kata lain dari hukum wajib adalah fardhu, fardhu dibagi menjadi dua yaitu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.

Hukum Sunnah merupakan perkara yang dikerjakan mendapatkan pahala, dan bila ditinggalkan tidak berdosa. Sunnah juga terbagi menjadi dua, yaitu Sunnah mu’akkad dan Sunnah ghairu muakkad.

Haram merupakan perkara yang dikerjakan akan memperoleh dosa dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Perkara haram antara lain, berzina, berjudi, mengonsumsi minuman keras dan lainnya. Menurut Jumhur para ulama, hukum haram terbagi 2 yaitu Al Muharram lidzatihi, Al Muharram li ghairihi.

Makruh merupakan perkara yang dilarang tetapi larangan tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan hukum haramnya. Makruh dibagi menjadi 2, yaitu:

Mubah merupakan perkara yang dikerjakan ataupun ditinggalkan tidak memberikan ganjaran apapun baik dosa atau pahala. Hukum ini menjadi keringanan oleh Allah Swt kepada umat Islam, seperti berdoa tidak menggunakan bahasa Arab.

Islam mengatur seluruh urusan manusia dengan sangat lengkap dan sempurna. Dari mulai kita bangun tidur sampai kembali tidur di penghujung hari, Allah telah memberikan dan menjelaskan bagaimana cara manusia menjalani harinya. Dimulai dari bangun tidur, menyucikan diri, ibadah, memenuhi hak tubuh (makan, minum, istirahat), bekerja, belajar, bersilaturahim dengan sesama, berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, muda, atau sebaya, berwisata, berniaga, mengaji, dan banyak lagi aktivitas manusia lainnya sampai kita kembali tidur, semua telah ada aturan mainnya. Aturan-aturan main tersebut sangat erat kaitannya dengan hukum-hukum yang berlaku atas suatu perbuatan.

Di dalam Islam, kita mengenal ada enam hukum yang berdampak pada boleh atau tidaknya kita mengerjakan sebuah perbuatan. Keenam hukum tersebut adalah waji, sunah, halal, mubah, makruh, dan haram. Melalui Al-Qur’an, Allah telah menjelaskan sebuah perbuatan berhukum apa. Jika di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan, Allah menjelaskannya melalui sabda Rasulullah yang termaktub di dalam Al-Hadits. Jika di dalam Al- dan Al-Hadits juga tidak ditemukan, maka hasil dari ijtima’ ulama yang dijadikan landasan hukum sebuah perkara. Mengapa demikian? Karena zaman semakin berkembang, maka hadir pula perkara-perkara yang di zaman Rasulullah belum dikenal. Para ulama akan tetap mencari dalil utama pada Al-Qur’an dan Al-hadits karena di dalam kedua sumber tersebut terdapat bahasan secara umumnya. Untuk mengetahui lebih lanjut apa pengertian dari keenam hukum dalam Islam, mari kita bahas satu persatu.

Hukum wajib biasa kita kenal dengan istilah fardhu dalam bahasa Arab. Secara istilah, wajib memiliki arti sebuah perintah yang harus dilakukan oleh setiap hamba yang jika tidak melakukannya ia akan mendapatkan dosa. Dilansir dari laman detiknews.com, hukum wajib sendiri terbagi ke dalam empat bagian, yakni wajib berdasarkan waktu pelaksanaannya, wajib berdasarkan orang yang melaksanakan perintah tersebut, ukuran dan kadar pelaksananya, serta kandungan kewajiban perintahnya.

Kewajiban berdasarkan waktu pelaksanaannya pun terbagi lagi menjadi;

-wajib muwassa: wajib yang waktu disediakan untuk melakukannya melebihi waktu pelaksanaannya. – wajib mudhayyaq: kewajiban yang sama waktu pelaksanaannya dengan waktu yang disediakan seperti puasa Ramadhan. – Wajib dzu Syabhaini: gabungan antara wajib muwassa dengan wajib mudhayyaq, misalnya ibadah haji.

Kewajiban berdasarkan orang yang melaksanakannya:

Kewajiban berdasarkan ukuran atau kadar pelaksanaannya:

a.Wajib muhaddad: wajib yang harus sesuai dengan kadar yang sesuai ketentuan seperti zakat.

Kewajiban berdasarkan kewajiban perintahnya:

Sunah merupakan sebuah hukum yang apabila kita kerjakan maka akan mendapatkan pahala dan jika tidak mengerjakannya tidak berdosa. Sama seperti hukum wajib, sunah pun juga ada bagiannya.

Mubah atau biasa yang kita kenal dengan istilah ‘boleh’ ialah hukum dari sebuah perbuatan yang apabila tidak kita kerjakan, kita tidak memperoleh dosa dan jika kita kerjakan tak juga mendapatkan pahala. Contohnya adalah bercanda, berbelanja, makan, minum.

Secara bahasa, makruh artinya mubghod (yang dibenci). Makruh merupakan sebuah hukum menganjurkan kita untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Bila kita tidak melakukannya maka akan diganjar pahala oleh Allah. Namun, apabila kita memilih untuk melakukannya tidak berdosa.

Contoh perbuatan makruh adalah memakan makanan yang berbau menyengat, seperti jengkol, petai, bawang-bawangan mentah. Allah tak menyukai hal-hal seperti itu karena aromanya yang kuat akan menganggu orang lain pada saat berbicara sedangkan seorang Muslim selalu dituntut untuk memperhatikan penampilannya agar selalu bersih dan wangi.

Makruh terbagi menjadi dua, yaitu;

Seperti yang telah kita ketahui, haram merupakan kebalikannya dari wajib. Ketika kita melakukan sesuatu yang dilarang olehNya maka akan dihukumi dosa dan apabila kita meninggalkan larangan tersebut, maka Allah akan mengganjarnya dengan pahala.

Haram sendiri juga terbagi ke dalam dua bentuk;

Itulah pengertian hukum dalam Islam serta pembagiannya. Harus selalu kita ingat, bahwa setiap perintah, anjuran, dan larangan yang Allah sampaikan kepada hambaNya mengandung hikmah yang harus kita renungkan sendiri. Percayalah, Allah hanya menginginkan kita selamat dunia akhirat. Percayalah, hanya Allah-lah sebaik-baiknya Zat yang mampu mengurusi hidup kita dengan amat sempurna.

Penulis, (Dessy Husnul Q)

Dalam Islam, tindakan kita harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ada hukum-hukum Islam yang berlaku untuk menuntun manusia sesuai dengan tindakan yang sesuai.

Hukum-hukum itu seperti wajib, sunnah, makruh, dan haram. Dalam buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam oleh Iwan Hermawan, disebutkan hukum-hukum tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mandub atau Sunnah

Mandub secara bahasa artinya mad'u (yang diminta) atau yang dianjurkan. Beberapa literatur atau pendapat ulama menyebutkan, mandub sama dengan sunnah.

Hukum Islam sunnah atau mandub dalam fiqh adalah tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan karena perbuatan yang dilakukan dipandang baik dan sangat disarankan untuk dilakukan. Orang yang melaksanakan berhak mendapat ganjaran tetapi bila tuntutan tidak dilakukan atau ditinggalkan maka tidak apa-apa.

Hukum sunnah dilihat dari tuntutan melakukannya yakni:

-Sunnah muakkad: perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi di samping ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu misalnya sholat witir.

-Sunnah ghairu mu'akad yaitu sunnah yang dilakukan oleh nabi tapi nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian seperti sunnah 4 rakat sebelum dzuhur dan sebelum ashar.

Sedangkan hukum sunnah jika dilihat dari kemungkinan untuk meninggalkannya terbagi menjadi:

-Sunnah hadyu: perbuatan yang dituntut melakukannya kareba begitu besar faidah yang didapat dan orang yang meninggalkannya tercela, seperti azan, sholat berjamaah, sholat hari raya.

-Sunnah zaidah: sunnah yang apabila dilakukan oleh mukalaf dinyatakan baik tapi bila ditinggalkan tidak diberi sanksi apapun. Misalnya mengikuti yang biasa dilakukan nabi sehari-hari seperti makan, minum, dan tidur.

-Sunnah nafal: suatu perbuatan yang dituntut tambahan bagi perbuatan wajib seperti sholat tahajud.

Makruh secara bahasa artinya mubghadh (yang dibenci). Jumhur ulama mendefinisikan makruh adalah larangan terhadap suatu perbuatan tetapi larangan tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut.

Makruh dibagi 2 yakni:

-Makruh tahrim yakni sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti contohnya larangan memakai perhiasan emas bagi laki-laki.

-makruh tanzih yakni sesuatu yang diajurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, tetapi larangan tidak bersifat pasti contohnya memakan daging kuda saat sangat butuh waktu perang.

Hukum Islam berikutnya yakni mubah. Mubah adalah titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Bila mengerjakan tidak diberi ganjaran.

Muharram secara bahasa artinya mamnu' (yang dilarang). Menurut madzah hanafi, hukum haram harus didasarkan dalil qathi yang tidak mengandung keraguan sedikitpun sehingga kita tidak mempermudah dalam menetapkan hukum haram, sebagaimana QS An Nahl ayat 116.

Menurut Jumhur para ulama, hukum haram terbagi:-Al Muharram li dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemadharatan bagi kehidupan manusia. Contoh makan bangkai, minum khamr, berzina.-Al Muharram li ghairihi: sesuatu yang dilarang bukan karena essensinya tetapi karena kondisi eksternal seperti jual beli barang secara riba.

Pernikahan adalah ikatan yang sakral, untuk itu tak bisa sembarang melangsungkannya. Para ulama bahkan menetapkan sejumlah hukum atas pelaksanaan pernikahan yang didasari dari situasi serta kondisi seseorang, dengan tujuan agar bisa menggapai hubungan yang baik serta harmonis. Lalu apa hukum pernikahan dalam Islam?

Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan mengemukakan pada dasarnya pernikahan adalah ciri manusia sejak pertama kali diciptakan. Sebagaimana Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS, lalu dijadikan pula Hawa oleh-Nya. Kemudian keduanya terikat dalam pernikahan dan hingga sekarang seluruh umat manusia adalah keturunan mereka.

Syariat pula menganjurkan kaum muslim untuk menikah. Terlebih menikah merupakan bagian dari sunnah para rasul, dan Nabi SAW pernah bersabda:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Artinya: "Menikah itu bagian dari sunnah ku, maka siapa yang tidak beramal dengan sunnah ku, maka bukanlah dari golonganku." (HR Ibnu Majah)

Allah melalui kalam-Nya turut menyatakan bahwa pernikahan adalah bagian dari kebesaran-Nya, dalam Surat Ar-Rum ayat 21:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Arab Latin: Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājal litaskunū ilaihā wa ja'ala bainakum mawaddataw wa raḥmah, inna fī żālika la`āyātil liqaumiy yatafakkarụn

Artinya: Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.

Hukum Pernikahan dalam Islam

Jumhur ulama menyebut bahwa hukum pernikahan pada seseorang bisa berubah dan tiap orangnya dapat berbeda lantaran tergantung kondisi dan permasalahan yang dialami.

Berikut berbagai hukumnya yang dilansir dari Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan, Fiqih Islam wa Adilatuhu karya Wahbah az-Zuhaili, dan Panduan Lengkap Muamalah oleh Muhammad Bagir:

Menjadi wajib apabila seorang muslim telah cukup kemampuan untuk melangsungkannya, baik secara finansial maupun lahir batin. Di sisi lain ia memiliki hasrat seksual yang tinggi dan khawatir akan terjerumus ke dalam perzinaan jika ia tidak menikah. Ia juga tidak mampu menjaga dirinya dari perbuatan hina dengan cara lain seperti puasa.

Mengingat bahwa menjaga kesucian dan kehormatan adalah suatu keharusan, begitu pula dengan menjauhi perbuatan yang dilarang agama. Sehingga cara terbaik baginya adalah dengan menikah.

Apabila seseorang akan mendzalimi serta membahayakan pasangannya jika menikah, seperti dalam kondisi tidak dapat memenuhi kebutuhan pernikahan lahiriah dan batiniah, atau tidak mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Juga menjadi haram bila hendak melakukan penipuan.

Atau ada kasus di mana salah satu pasangannya menderita penyakit yang bisa menghalangi kebahagiaan di antara mereka kelak, maka tidak halal baginya untuk menyembunyikan hal itu. Kecuali telah memberitahukan kekurangannya itu kepada calom pasangannya.

Tidak menjadi wajib melainkan sunnah jika seseorang sudah mampu dalam finansial dan pemenuhan lahir batin, tetapi tidak takut akan tergelincir kepada perilaku yang dilarang. Dilatarbelakangi pula dengan umurnya yang terbilang masih muda.

Orang dengan keadaan seperti ini sebatas dianjurkan untuk menikah, tidak sampai diwajibkan. Lantaran ia mampu menjaga dirinya dari perbuatan zina.

Bagi orang yang tidak punya penghasilan serta tidak mampu memenuhi kebutuhan batiniah, tetapi calon istrinya rela dan memiliki harta cukup untuk menghidupi mereka. Dengan kondisi seperti ini, maka menikah adalah makhruh bila dipandang dalam Islam.

Di mana seseorang dalam kondisi stabil, tidak cemas akan terjerumus kepada zina, dzalim atau membahayakan pasangannya jika tidak menikah. Tidak ada pula dorongan maupun hambatan untuk melakukan atau meninggalkan pernikahan. Dalam keadaan ini, hukum menikah bagi seseorang yakni boleh (mubah).

Assalamu‘alaikum wr. wb.

Mengenai as-Sunnah banyak orang berpendapat bahwa itu adalah sunat Rasul (hukumnya sunnah). Pemahaman saya, as-Sunnah adalah pedoman/petunjuk/manhaj/jalan yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Pemahaman saya, as-Sunnah sendiri hukumnya fardhu, dan bisa jadi hukumnya sunat, hal tersebut tergantung penekanan hadisnya. Misalnya hadis, “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Hadis dimaksud merupakan fardhu untuk diikuti. Yang ingin saya tanyakan, sebenarnya hukum syara (fardhu, sunnat, dll) itu bagaimana asal muasalnya bisa terbentuk. Lalu bagaimanakah di zaman Nabi sendiri, sehingga kita mengetahui kapan hadis itu menjadi fardhu dan kapan menjadi sunnat, mengingat ada hadis “Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka bukan golonganku.”

Terima kasih atas jawaban Majelis Tarjih, mudah-mudahan ada manfaatnya buat saya pribadi, umumnya buat umat Islam Indonesia.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Pertanyaan Dari:Hery Sopari, Desa Cikole, Kec. Cimalaka Sumedang 45353 Jawa Barat.Instansi: Kantor Kementerian Kehutanan (Balai Taman Nasional Wakatobi)(disidangkan pada hari Jum’at, 22 Jumadilakhir 1434 H / 3 Mei 2013 M)

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Terima kasih atas pertanyaan saudara.

Pertanyaan saudara bisa kami simpulkan terkait dengan pembahasan mengenai metode penemuan dan penyimpulan hukum (thuruq istinbath al-ahkam) dalam Islam yang notabene dilakukan oleh para ahli hukum Islam. Bidang keilmuan yang terkait dengan bahasan ini adalah ushul fikih.

Sebagaimana kita ketahui bahwa al-Quran dan Hadis adalah sumber ajaran dan hukum Islam yang berisikan teks atau nash tertulis dari firman Allah dan sabda Nabi-Nya sebagai petunjuk manusia untuk kehidupan dunia dan akhirat. Sebagai sebuah kitab pentunjuk dan bimbingan agama secara umum dari Allah, maka otentisitas teksnya tidak diragukan lagi. Namun ketentuan hukum di dalamnya tidak bersifat rinci. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam al-Quran merupakan kaidah-kaidah umum. Hanya beberapa yang diperinci, seperti kewarisan dan perkawinan. Sedang Hadis sebagai penjelasan al-Quran oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, periwayatan teks-teksnya tidak semuanya autentik (shahih). Sehingga hanya hadis-hadis yang shahih dan hasan saja yang dapat menjadi sumber hukum.Baca juga:  Urut-Urutan Dalam Rukun Islam

Teks al-Quran dan Hadis berisikan pernyataan-pernyataan hukum yang perlu dipahami dan disimpulkan sehingga muncul aturan-aturan yang konkret sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu, pemahaman terhadap kata-kata dalam pernyataan tersebut sangat penting. Dalam ilmu ushul fikih, para ahli hukum Islam membahas  tema ini dalam bahasan ragam metode penyimpulan (thuruq istidlal), salah satunya  adalah metode penyimpulan hukum dari kata-kata/lafal-lafal (thuruq istidlal min alfazh). Teks al-Quran dan Hadis banyak disimbolkan dengan kata kerja yang mewakili tingkah laku manusia dalam bahasa Arab, sebagai bahasa yang digunakan. Terkait dengan masalah ini, dalam bahasan ushul fikih, lafal terbagi ke dalam beberapa jenis yaitu:

(a) Musytarak (homonim), yaitu  kata  yang mempunyai  dua  makna atau  lebih  dengan  kegunaannya yang banyak. Contohnya kata mata (al-‘ain) yang bisa dimaksudkan pada beberapa makna. Ada mata manusia, mata-mata (jasus), mata air (al-ma’). Semuanya  bisa  digunakan  tergantung  indikasi  (qarinah)  lafal tersebut;

(b) Lafal ‘am (umum), yaitu lafal yang mengarah pada satu makna yang dapat terealisir pada beberapa kesatuan yang banyak dan tidak bisa dihitung atau dibatasi dalam  sebuah lafal, sekalipun pada kenyataannya terbatas. Biasanya kata-kata yang sifatnya  umum. Contohnya adalah manusia (al-insan) yang mencakup seluruh anak cucu Adam;

(c) Lafal khas (khusus), yaitu lafal yang artinya dapat terealisir pada satu kesatuan atau beberapa kesatuan yang dapat dihitung atau terbatas. Seperti kata ‘Mukhlis’, ‘wanita’, dan ‘lelaki’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; دَعِي الصَّلاَةَ أّيَّامَ أَقْرَائِكِ [da’iy ash-shalah ayyama aqra’iki], artinya “tinggalkan shalat pada hari-hari haidmu” (HR. Ahmad). Kata haid dalam hal ini menunjukan suatu kekhususan. Lafal khas terbagi menjadi dua:

(c.1) muthlaq, yaitu lafal yang  mengarah pada satu kesatuan atau beberapa kesatuan tanpa ada batasan khusus. Sebagai misal adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah sedekah fitrah, أَدُّوا عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ [addu ‘ala kuli hurrin wa ‘abdin], artinya “laksanakanlah untuk setiap hamba yang bebas dan (juga para) budak” (HR. ad-Daruqutni). Perintah untuk hamba yang bebas-merdeka dan budak  di sini tanpa ada batasan maksud yang lain;Baca juga:  Tujuan, Petunjuk dan Asas Dalam Melaksanakan Agama

(c.2) muqayyad, kebalikan dari muthlaq, yaitu lafal yang mengarah pada satu kesatuan atau beberapa kesatuan dengan batasan khusus. Contohnya dalam riwayat sedekah fitrah  di atas terdapat tambahan kata, مُسْلِمٍ [… muslimin] (HR. at-Tirmidzi), menunjukkan adanya batasan khusus.

Lafal khas dapat berbentuk perintah atau bentuk informasi yang terkandung dalam pengertian perintah, maka lafal itu memberi arti mengharuskan (al-‘ijab/pewajiban).  Oleh sebab itu, pernyataan hukum dalam al-Quran dan Hadis dapat disimpulkan sebagai sebuah kewajiban, jika dalam pernyataan-pernyataan tersebut terdapat bentuk perintah  yang  memerintahkan  secara pasti atau terdapat  indikasi (qarinah) ke arah  sebuah kepastian. Misalkan dalam hadis, اِسْتَنْزِهُوا مِنَ اْلبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ اْلقَبْرِ مِنْهُ [istanzihu min al-bauli  fainna ‘ammata  adzab al-qabri  minhu], artinya, “sucikanlah diri kalian dari air kencing, karena pada umumnya azab neraka dari hal tersebut” (HR. ad-Daruqutni).  Kata “istanzihu”, dalam tata bahasa arab diklasifikasikan sebagai bentuk fi’il amr (kata kerja imperatif/perintah).

Bentuk imperatif (perintah) dapat dipalingkan dari arti mewajibkan kepada makna lain karena ada indikasi yang mengarah kepada pengertian lain, seperti makna  membolehkan (al-ibahah) dan an-nadbu (sunnah/anjuran). Misal pengertian yang membolehkan dalam sebuah Hadis, إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ اْلمُعَلِّمَ فَقَتَلَ فَكُلْ وَإِذَا أَكَلَ فَلاَ تَأْكُلْ فَإِنَّمَا أَمْسَكَهُ عَلَى نَفْسِهِ [idza arsalta kalbaka al-mu’allima faqatala fakul, wa idza akala fala ta’kul, fainnama amsakahu ‘ala nafsihi], yang artinya “jika kamu mengirim anjing (buruanmu) yang terlatih lalu (hewan buruannya) terbunuh, maka makanlah. Jika (hewan buruan tersebut kau temukan telah) dimakan oleh anjingmu, jangan kamu makan, karena itu bagiannya.” (HR. al-Bukhari). Contoh dari pengertian yang sunnah (an-nadbu) adalah hadis, أَسْبِغِ اْلوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ اْلأَصَابِعِ [asbighi al-wudhu’ wakhallil baina al-ashabi’], artinya “ratakanlah (air) wudhu dan selailah jari-jari (tangan dan kakimu) (HR. Ahmad).

Oleh karena itu, dalam memahami teks-teks perintah (amr) akan sangat tergantung pada indikasi-indikasi (qara’in) yang ada, di mana kadang menunjukkan pada kewajiban, kebolehan (mubah), sunnah (an-nadbu), petunjuk (irsyad), dan doa. Dalam masalah inilah, para ulama ahli hukum Islam banyak berbeda  pendapat ketika menyimpulkan suatu hukum dengan simbol/istilah tertentu seperti sunnah muakkad, yang dalam mazhab Hanafi artinya adalah wajib. Tapi jika kembali kepada kaidah ushul dalam hal ini, pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban (al-ashlu fi al-amri lil-wujub).Baca juga:  Walimatul ‘Ursy dengan Hewan Qurban

Lafal khas dapat pula berbentuk larangan (an-nahyu) atau berbentuk informasi dalam pengertian larangan. Oleh karenanya, lafal ini  menurut  para ahli hukum Islam, dapat menunjuk pada pengertian haram dan karahah (makruh). Meski pada dasarnya,  larangan itu mengarah pada pengharaman (an-nahyu yaqtadhi at-tahrim), tapi terkadang dengan indikasi yang ada, dapat mengarah pada kemakruhan. Contoh dari  pengertian  yang haram adalah sebuah hadis, لاَ تَجْمَعُوا اْلمَرْأَةَ بَيْنَ عَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا [la tajma’u al-mar’ah baina ‘ammatiha au khalatiha”], artinya “jangan kau campuri (nikahi) seorang gadis sekaligus bibinya” (Muttafaq alaihi). Contoh dari pengertian yang makruh adalah sebuah hadis, إِذَا شَرَبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فيِ اْلإِنَاءِ ثَلاَثًا [idza syaraba ahadukum fala yatanaffas fil-‘ina’i tsalatsan], artinya “apabila engkau minum, jangan bernafas di dalam gelas tiga kali (bernafaslah di luar gelas)” (HR. al-Bukhari).

Kesimpulan dari kami, diperlukan metode-metode tertentu dalam memahami al-Qur’an dan Hadis kemudian mengamalkannya sesuai dengan maksud-maksud teks atau nash tersebut. Kadang di antara kita muncul pemahaman yang tidak tepat, yaitu dengan menggeneralisir bahwa semua yang datang dan berasal dari Rasul adalah wajib melaksanakannya dengan mendasarkan pada firman Allah surat al-Hasyr (59) ayat 7: وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا [Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah]. Juga berdasar sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; فَمَن رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي [faman raghiba ‘an sunnati  falaisa minni], artinya “siapa yang membenci/tidak mengikuti sunnahku, maka tidak termasuk golonganku” (HR. al-Bukhari). Mengikuti sunnah adalah wajib, tapi harus  sesuai dengan bentuk dan maksud dari Sunnah tersebut.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 18, 2013

Pernikahan termasuk perwujudan ibadah dalam agama Islam. Bahkan pernikahan disebut sebagai ibadah terpanjang.

Pada dasarnya, hukum pernikahan dalam Islam sendiri sangat dianjurkan Rasulullah bagi mereka yang mampu untuk melaksanakannya. Akan tetapi, hukum nikah dapat berubah tergantung situasi serta kondisi seseorang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengutip NU Online, pernikahan dalam Islam ditilik dari sudut pandang hukum sebagai berikut.

حُكم النِكَاحِ شَرْعُا للنكاح أحكام متعددة، وليس حكماً واحداً، وذلك تبعاً للحالة التي يكون عليها الشخص

Artinya: "Hukum nikah secara syara'. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik)," (Sa'id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji 'ala Madzhabil Imamis Syâfi'i, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV, halaman 17).

Dari penjelasan tersebut, maka hukum nikah berbeda-beda sesuai dengan kondisi seseorang dan tidak bisa disamaratakan.

Dirangkum dari buku Fiqih Munakahat: Hukum Pernikahan dalam Islam (2023), berikut macam-macam hukum pernikahan dalam Islam dan kriterianya.

Bagi orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah, serta khawatir dirinya terjerumus perbuatan zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib.

Hal itu didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Seseorang dikatakan wajib untuk menikah apabila:

Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunah.

Pernikahan dianggap sunah untuk dilakukan apabila:

Seseorang dalam kondisi stabil, tidak cemas akan terjerumus kepada zina, zalim atau membahayakan pasangannya jika tidak menikah.

Tidak ada pula dorongan maupun hambatan untuk melakukan atau meninggalkan pernikahan. Dalam keadaan ini, hukum menikah bagi seseorang tersebut yakni boleh atau mubah, yang artinya tidak berdosa dan tidak pula berpahala apabila dilakukan.

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan tetapi orang tersebut tidak punya penghasilan serta tidak mampu memenuhi kebutuhan batiniah.

Sementara calon istrinya rela dan memiliki harta cukup untuk menghidupi mereka. Dengan kondisi seperti itu, maka hukum pernikahannya dalam Islam dipandang makruh, yakni tidak dianjurkan atau tidak disukai.

Pernikahan haram hukumnya bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga.

Apabila melangsungkan perkawinan berpotensi menelantarkan dirinya dan istrinya maka hukum melakukan pernikahanan bagi orang itu haram.

Pernikahan bisa menjadi haram apabila:

Itulah beberapa penjelasan tentang hukum pernikahan dalam Islam, mulai dari wajib, sunah, mubah, makruh, sampai haram yang harus diketahui setiap Muslim.

YOGYAKARTA- Kajian jelang berbuka di masjid Islamic Center UAD pada hari Sabtu (30/03) membahas tema tentang hukum dan Islam yang disampaikan oleh M. Habibi Miftakhul Marwa SHI, MH (Dosen Fakultas Hukum UAD) selaku pemateri.

Mengutip dari Rene David guru besar hukum dan ekonomi universitas Paris, Habibi menyampaikan bahwa tidak mungkin orang memperoleh gambaran yang jelas tentang Islam sebagai suatu kebulatan, jika orang tidak mempelajari hukumnya. Kemudian kerangka dalam Islam itu ada 3, yaitu akidah, syariah dan akhlak. Akidah berbicara tentang keyakinan dan keimanan serta bagaimana tentang ketauhidan. Syariah adalah sistem hukum yang ada di dalam ajaran agama Islam. Syariah merupakan kumpulan norma ilahi yang Allah turunkan kepada umat manusia. Akhlak secara garis besar adalah sistem etika dan moral yang ada di dalam ajaran agama Islam. Antara ketiga kerangka tersebut terdapat satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan. Islam memiliki kumpulan aturan yang lengkap hampir bisa dikatakan setiap aktivitas yang ada di dalam kehidupan manusia ini Islam memiliki sistem aturan. Aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah dalam syariat itu ada aturan yang mengatur terkait tata cara beribadah dan membangun hubungan dengan Allah SWT. Islam juga mengatur tata cara membangun hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam yang disebut dengan muamalah.

Kemudian Habibi juga menjelaskan terkait perbedaan syariat dan hukum. Di mana syariat itu adalah kumpulan norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (ibadah), hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan (muamalah).

Dan hukum merupakan suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk mengatur atau mengatur masyarakat atau aturan apapun yang dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti aturan dari perlemen. Manusia harus di atur agar manusia bisa hidup tertib agar tidak terjadi konflik. Dia juga menyampaikan bisa disebut hukum apabila memenuhi 4 unsur yaitu ada aturan, ada yang membuat, bersifat memaksa, ada sanksinya bagi para pelanggar aturan.

“Kedudukan hukum dalam Islam saling terikat karena Islam menjadi agama paripurna yang berisi aturan-aturan dan yang menjadi sumber hukum utama dalam Islam adalah Alquran dan hadis. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin hukum umat Islam.” Terangnya.

Dalam Alquran memiliki kandungan hukum, seperti pada surat surat madaniyah kandungannya berkaitan dengan hukum. Ayat-ayat hukum di dalam Alquran ada sekitar 368 ayat atau sekitar 5,8 persen dari seluruh ayat di dalam Alquran. Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin hukum telah meletakkan hukum-hukum modern di tengah masyarakat arab yang masih jahiliah. Nabi Muhammad datang membawa perubahan terkait sistem hukum yang ada di Arab pra Islam. (Ekha Yulia Ningsih)

Pernikahan dalam Islam adalah salah satu institusi yang paling penting dalam kehidupan umat Muslim. Menurut ajaran Islam, pernikahan dianggap sebagai ikatan suci antara seorang pria dan seorang wanita yang saling mencintai dan ingin membangun kehidupan bersama. Dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa aspek hukum pernikahan dalam Islam.

Sebelum menikah, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon suami dan istri dalam Islam. Pertama-tama, keduanya harus memiliki kemampuan untuk menikah. Hal ini berarti bahwa mereka harus memiliki kesehatan yang cukup, kecukupan ekonomi, dan kemampuan mental dan emosional untuk menjalani kehidupan pernikahan.

Selain itu, dalam Islam, seorang pria dapat menikah dengan wanita Muslim, wanita Yahudi atau Kristen yang hidup dalam lingkungan Islam atau agama lain yang diakui oleh Islam. Namun, seorang wanita Muslim hanya dapat menikah dengan pria Muslim.

Proses pernikahan dalam Islam terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah lamaran, di mana calon suami mengajukan permohonan kepada calon istri untuk menikah. Kemudian, jika permohonan tersebut diterima, proses pernikahan dilanjutkan dengan upacara ijab kabul, di mana pihak calon suami mengucapkan janji nikah dan pihak calon istri menerima dengan mengucapkan kata “qabul”.

Setelah proses ijab kabul selesai, proses pernikahan dilanjutkan dengan akad nikah, di mana pernikahan diresmikan dengan menandatangani kontrak pernikahan atau akad nikah. Akad nikah ini dilakukan oleh seorang imam atau hakim di hadapan saksi-saksi yang sah.

Dalam Islam, suami dan istri memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjalani kehidupan pernikahan. Suami harus memberikan nafkah dan perlindungan kepada istri, sementara istri harus menaati suami dan membantu suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Meskipun Islam memandang pernikahan sebagai institusi suci, namun dalam beberapa situasi perceraian dapat terjadi. Menurut ajaran Islam, perceraian dapat terjadi baik atas kesepakatan bersama antara suami dan istri maupun atas permintaan salah satu pihak.

Namun, sebelum melakukan perceraian, Islam mengajarkan bahwa suami dan istri harus melakukan upaya maksimal untuk memperbaiki hubungan mereka. Mereka harus mencoba untuk memperbaiki komunikasi dan menyelesaikan masalah yang terjadi di antara mereka.

Islam mengizinkan suami untuk memiliki hingga empat istri, asalkan dia dapat memberikan nafkah dan perlindungan kepada semua istri dan anak-anak mereka. Namun, poligami dalam Islam tidak dianjurkan, dan seorang suami harus memperlakukan semua istri dan anak-anak mereka dengan adil.

Perlombaan atau musabaqah telah menjadi bagian dari aktifitas manusia sejak dahulu hingga sekarang. Berbagai macam hal yang diperlombakan di masyarakat. Terkadang perlombaan juga disertai dengan adanya hadiah bagi pemenangnya. Bagaimana hukum perlombaan dalam islam?

Musabaqah dari as sabqu yang secara bahasa artinya:

القُدْمةُ في الجَرْي وفي كل شيء

“Berusaha lebih dahulu dalam menjalani sesuatu atau dalam setiap hal” (Lisaanul Arab).

Maka musabaqah artinya kegiatan yang berisi persaingan untuk berusaha lebih dari orang lain dalam suatu hal. Disebutkan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (2/155):

المسابقة: هي المجاراة بين حيوان وغيره، وكذا المسابقة بالسهام

“Musabaqah adalah mempersaingkan larinya hewan atau selainnya, demikian juga persaingan dalam keahlian memanah”.

Hukum Perlombaan Dengan Taruhan

Untuk lomba-lomba yang dibolehkan untuk diperlombakan, bolehkan ada taruhan? Sebelum membahas hukum perlombaan dengan taruhan dalam islam, maka perlu kita rinci mengenai jenis-jenis hadiah lomba. Hadiah lomba ditinjau dari penyedianya ada tiga macam:

1. Yang menyediakan hadiah adalah salah satu peserta lomba.

Semisal Fulan dan Alan berlomba. Maka Fulan mengatakan: “Kalau kamu bisa mengalahkan saya maka silakan ambil uang saya 100 dinar”. Maka ini hukumnya boleh dan hadiahnya halal.

Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (24/128):

إِذَا كَانَتِ الْمُسَابَقَةُ بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ بَيْنَ فَرِيقَيْنِ أَخْرَجَ الْعِوَضَ أَحَدُ الْجَانِبَيْنِ الْمُتَسَابِقَيْنِ كَأَنْ يَقُول أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ: إِنْ سَبَقْتَنِي فَلَكَ عَلَيَّ كَذَا، وَإِنْ سَبَقْتُكَ فَلاَ شَيْءَ لِي عَلَيْكَ. وَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي جَوَازِ هَذَا

“Jika perlombaan dilakukan antara dua orang atau dua kelompok. Lalu salah satu peserta menyediakan hadiah, semisalnya ia mengatakan: “Jika engkau bisa mengalahkan saya, maka engkau bisa mendapatkan barang saya ini, kalau saya yang menang maka saya tidak mengambil apa-apa darimu”. Maka tidak ada khilaf di antara ulama bahwa ini dibolehkan”.

2. Yang menyediakan hadiah adalah penguasa atau orang lain di luar peserta lomba.

Semisal lomba yang diadakan pemerintah atau diadakan oleh perusahaan dan hadiah dari perusahaan, maka hukumnya boleh dan hadiahnya halal.

Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (24/128):

أَنْ يَكُونَ الْعِوَضُ مِنَ الإِْمَامِ أَوْ غَيْرِهِ مِنَ الرَّعِيَّةِ، وَهَذَا جَائِزٌ لاَ خِلاَفَ فِيهِ، سَوَاءٌ كَانَ مِنْ مَالِهِ أَوْ مِنْ بَيْتِ الْمَال؛ لانَّ فِي ذَلِكَ مَصْلَحَةً وَحَثًّا عَلَى تَعَلُّمِ الْجِهَادِ وَنَفْعًا لِلْمُسْلِمِينَ

“Jika hadiah disediakan oleh pemerintah atau dari masyarakat (yang tidak ikut lomba), maka ini dibolehkan tanpa ada khilaf di dalamnya. Baik dari harta pribadi penguasa atau dari Baitul Mal. Karena di dalamnya terdapat maslahah berupa motivasi bagi masyarakat untuk mempelajari berbagai ketangkasan untuk berjihad dan juga bisa bermanfaat bagi kaum Muslimin”.

3. Yang menyediakan hadiah adalah para peserta lomba.

Maka ini merupakan rihan atau murahanah (taruhan). Namun ulama khilaf apakah dibolehkan bagi lomba-lomba yang disyariatkan untuk dilakukan dengan taruhan dalam tiga pendapat:

Namun hadits ini derajatnya lemah. Dijelaskan kelemahannya oleh Al Bazzar (Musnad Al Bazzar, 14/229), Ibnu Adi (Al Kamil fid Du’afa, 4/416), Ibnu Taimiyah (Bayanud Dalil, 83), dan Ibnul Qayyim (Al Furusiyyah, 212).

Wallahu ta’ala a’lam pendapat yang rajih dalam pandangan kami adalah pendapat kedua. Karena dalam hadits disebutkan:

لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ

“Tidak boleh ada lomba (berhadiah), kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta”

Hadits ini menggunakan lafadz “laa sabaqa”. Sedangkan makna as sabaq secara bahasa adalah:

ما يجعل من المال رَهْناً على المُسابَقةِ

“Yang dipertaruhkan dalam perlombaan.” (Lisaanul ‘Arab).

Maka zhahir hadits ini menunjukkan bolehnya taruhan dalam tiga lomba yang disebutkan dalam hadits. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

لا يجوز الرهان إلا في مسائل ثلاث: في الخيل والإبل والمسابقة على الرمي، لقوله -صلى الله عليه وسلم-: “لا سبق إلا في نصل أو خف أو حافر”. هذا يجوز له المراهنة بالمال، يعني جعل مال لمن سبق بالرمي من أصاب الهدف أول، أو بالخيل أو بالإبل، من سبق يكون له كذا وكذا، هذا فعله النبي -صلى الله عليه وسلم- سابق بين الخيل وأعطى السبق

“Tidak diperbolehkan taruhan kecuali pada tiga lomba: balap kuda, balap unta dan memanah. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam: ‘Tidak boleh ada lomba, kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta’. Untuk lomba-lomba ini dibolehkan taruhan dengan harta. Yaitu ju’alah berupa harta bagi orang yang paling tepat sasaran ketika memanah atau paling awal sampai ketika balap kuda atau unta. Yang menang mendapatkan ini dan itu. Ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam lomba balap kuda, dan beliau memberikan hadiah.” (Sumber: https://binbaz.org.sa/old/28957).

Pendapat ini juga yang dikuatkan oleh Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.

Ini jika lomba yang diperlombakan termasuk lomba yang diizinkan oleh syariat sebagaimana telah dijelaskan. Jika lomba yang diperlombakan tidak termasuk lomba yang diizikan oleh syariat dan terdapat taruhan di sana maka hukumnya terlarang karena dua hal:

Allah Ta’ala berfirman melarang qimar dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

أما المسابقة بالأقدام أو بالمطارحة أو ما أشبه ذلك، هذا ما يجوز هذا يسمى قمار, ما يجوز, وكذلك لو جعل –مثلاً- من أصاب رقم كذا أو كذا يعطى سيارة أو يعطى كذا أو يعطى كذا، على أن يقدم كل واحد عشرين ريال أو خمسين ريال أو مئة ريال يقيد عندهم فمن أصاب الرقم الفلاني أخذ السيارة أو أخذ شيء آخر من المال هذا من القمار ما يجوز هذا

“Adapun (taruhan pada) perlombaan balap jalan atau lemparan atau semisalnya (yang tidak diizinkan syariat) ini tidak diperbolehkan. Inilah yang disebut qimar. Tidak diperbolehkan. Demikian juga misalnya orang yang membayar 20 riyal atau 50 riyal atau 100 riyal lalu mendapat kupon dan nomor kupon tertentu akan mendapatkan mobil atau hadiah yang lain, ini adalah qimar (judi) dan tidak diperbolehkan” (Sumber: https://binbaz.org.sa/old/28957).

Demikian, semoga bermanfaat bahasan hukum perlombaan dalam islam yang ringkas ini. Wabillahi at taufiq was sadaad.

Baca Juga: Judi dalam Kuis SMS Berhadiah

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Hukum Lomba Dengan Hadiah

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ

“Tidak boleh ada perlombaan berhadiah, kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta” (HR. Tirmidzi no. 1700, Abu Daud no. 2574, Ibnu Hibban no. 4690, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Ibnu ‘Abidin rahimahullah mengatakan:

لَا تَجُوزُ الْمُسَابَقَةُ بِعِوَضٍ إلَّا فِي هَذِهِ الْأَجْنَاسِ الثَّلَاثَةِ

“Maksudnya, tidak diperbolehkan lomba dengan hadiah kecuali dalam tiga jenis lomba yang disebutkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 6/402).

Dari hadits ini, ulama sepakat bahwa lomba yang disebutkan dalam hadits maka hukumnya jika ada hadiahnya. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:

إِنْ كَانَتِ الْمُسَابَقَةُ بِجَائِزَةٍ فَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهَا فِي الْخَيْل، وَالإبِل، وَالسَّهْمِ

“Jika lombanya berhadiah maka ulama sepakat ini disyariatkan dalam lomba berkuda, balap unta, dan memanah.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah , 15/80).

Adapun untuk selain lomba yang disebutkan dalam hadits, jumhur ulama mengatakan tidak diperbolehkan. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah:

فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ السِّبَاقُ بِعِوَضٍ إِلاَّ فِي النَّصْل وَالْخُفِّ وَالْحَافِرِ، وَبِهَذَا قَال الزُّهْرِيُّ

“Jumhur fuqaha berpendapat bahwa tidak diperbolehkan perlombaan dengan hadiah kecuali lomba menanah, berkuda dan balap unta. Ini juga pendapat dari Az Zuhri.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah , 24/126).

Dan semua lomba yang bermanfaat untuk membantu jihad fi sabilillah, maka diqiyaskan dengan tiga lomba tersebut, sehingga dibolehkan mengambil hadiah dari lombanya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Lomba yang berhadiah hukumnya haram kecuali yang diizinkan oleh syariat. Yaitu yang dijelaskan oleh sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam:

لا سبَقَ إلا في نَصلٍ أو خفٍّ أو حافرٍ

“Tidak boleh ada lomba (berhadiah), kecuali lomba memanah, berkuda, atau menunggang unta.”

Maksudnya, tidak boleh ada iwadh (hadiah) pada lomba kecuali pada tiga hal ini. Adapun nashl, maksudnya adalah memanah. Dan khiff maksudnya adalah balap unta. Dan hafir artinya balap kuda. Dibolehkannya hadiah pada tiga lomba tersebut karena mereka merupakan hal yang membantu untuk berjihad fi sabilillah. Oleh karena itu kami katakan, semua perlombaan yang membantu untuk berjihad, baik berupa lomba menunggang hewan atau semisalnya, hukumnya boleh. Qiyas kepada unta, kuda dan memanah. Dan sebagian ulama juga memasukkan dalam hal ini perlombaan dalam ilmu syar’i, karena menuntut ilmu syar’i juga merupakan jihad fii sabilillah. Oleh karena itu perlombaan ilmu-ilmu syar’i dibolehkan dengan hadiah. Diantara yang memilih pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah” (https://www.youtube.com/watch?v=7xWSOcOWkXw)

Dengan demikian lomba yang diperbolehkan untuk mengambil hadiah adalah:

Adapun yang tidak termasuk dua kategori ini maka tidak boleh ada hadiah dalam perlombaan. Itulah hukum perlombaan dengan hadiah dalam islam.

Baca Juga: Melecut Semangat Untuk Menuntut Ilmu Syar’i dan Beramal Shalih

Hukum Asal Perlombaan Dalam Islam

Poin pertama yang akan kami bahas adalah hukum asal perlombaan dalam islam. Sekedar perlombaan, yaitu bersaing dengan orang lain dalam suatu hal dan berusaha lebih dari yang lain ini tentu hukum asalnya mubah (boleh). Yang menjadi permasalahan adalah ketika dalam lomba tersebut terdapat taruhan atau hadiah. Adapun sekedar lomba tanpa taruhan dan hadiah, hukum asalnya boleh. Karena perlombaan merupakan perkara muamalah. Kaidah fiqhiyyah mengatakan:

الأصل في المعاملات الحِلُّ

“Hukum asal perkara muamalah adalah halal (boleh)”.

Selain itu, para ulama ketika membahas masalah musabaqah, umumnya mereka mengidentikkan dengan perlombaan yang melatih orang agar siap untuk berjihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

السباق بالخيل والرمي بالنبل ونحوه من آلات الحرب مما أمر الله به ورسوله مما يعين على الجهاد في سبيل الله

“Perlombaan kuda, melempar, memanah dan semisalnya merupakan alat-alat untuk berperang yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk membantu jihad fi sabilillah” (dinukil dari Al Mulakhas Al Fiqhi, 2/156).

Oleh karena itu diantara dalil tentang disyariatkannya lomba adalah dalil-dalil yang memerintahkan umat Islam untuk melatih diri sehingga siap untuk berjihad fi sabilillah. Diantaranya Allah Ta’ala berfirman:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS. Al Anfal: 60).

Dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu’anhu:

سمعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ، وهو على المنبرِ ، يقول وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ . ألا إنَّ القوةَ الرميُ

“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah di atas mimbar. Tentang ayat ‘dan persiapkanlah bagi mereka al quwwah (kekuatan) yang kalian mampu‘ (QS. Al Anfal: 60) Rasulullah bersabda: ‘ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak (sampai 3 kali)’” (HR. Muslim no. 1917).

Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits:

ألا إنَّ القوةَ الرميُ

“Ketahuilah bahwa al quwwah itu adalah skill menembak.”

Beliau menjelaskan: “Dalam hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna ada keutamaan skill menembak serta keutamaan skill militer, juga anjuran untuk memberi perhatian pada hal tersebut dengan niat untuk jihad fii sabiilillah. Termasuk juga latihan keberanian dan latihan penggunaan segala jenis senjata. Juga perlombaan kuda, serta hal-hal lain yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maksud dari semua ini adalah untuk latihan perang, mengasah skill dan mengolah-ragakan badan.” (Syarh Shahih Muslim, 4/57).

Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

اللهْوُ في ثلاثٍ : تأديبُ فرَسِكَ ، و رمْيُكَ بِقوسِكِ ، و مُلاعَبَتُكَ أهلَكَ

“Lahwun (yang bermanfaat) itu ada tiga: engkau menjinakkan kudamu, engkau menembak panahmu, engkau bermain-main dengan keluargamu” (HR. Ishaq bin Ibrahim Al Qurrab [wafat 429H] dalam Fadhail Ar Ramyi no.13 dari sahabat Abud Darda’, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 5498).

Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah berlomba lari dengan Aisyah radhiallahu’anha. Ia berkata:

سَابَقَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبَقْتُهُ حَتَّى إِذَا رَهِقَنَا اللَّحْمُ سَابَقَنِي فَسَبَقَنِي فَقَالَ : هَذِهِ بِتِيكِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengajakku berlomba lari lalu aku mengalahkan beliau. Hingga suatu ketika ketika aku sudah lebih gemuk beliau mengajakku berlomba lari lalu beliau mengalahkanku. Beliau lalu berkata: ‘ini untuk membalas yang kekalahan dulu’” (QS. An Nasa-i no. 7708, Abu Daud no. 2257, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa’ [5/327]).

Dan dalil-dalil yang lain yang menunjukkan bolehnya dan bahkan dianjurkannya perlombaan memanah, berkuda, dan melempar (skill menembak). Itulah hukum asal perlombaan dalam islam.

Baca Juga: Mari Berlomba Meraih Shaf Pertama